...

Tuesday, February 14, 2012

Tingkatan Islam dan Iman


Menurut Thabathabai

Setelah Tuhan mengisahkan perjuangan Ibrahim as sebagai tauladan yang utama, contoh orang yang pasrah sepenuhnya kepada Tuhan; setelah Ibrahim dan Ismail melaksanakan perintah Tuhan untuk membangun kembali Ka’bah; setelah keduanya berdoa agar dijadikan orang-orang Islam, Tuhan memanggil Ibrahim. Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131) Bukankah Ibrahim sudah Islam, dengan mematuhi semua perintah Allah swt? Mengapa ia disuruh Islam lagi? Untuk menjawab pertanyaan ini Thabathabai menulis tentang tingkatan keislaman dan keimanan. Saya mengutipnya agak lengkap di bawah ini:
Orang-orang berbeda dalam tingkat kepasrahannya kepada aturan Tuhan. Mereka juga berbeda dalam tingkat keislamannya.
Pertama, tingkat pertama Islam adalah menerima dan mematuhi perintah dan larangan dengan membaca dua kalimat syahadat, tidak jadi soal apakah iman sudah atau belum memasuki hatinya. Allah berfirman: Orang Arab dari dusun itu berkata: Kami beriman. Katakan, “Kamu tidak beriman. Tapi katakanlah: Kami Islam; karena iman belum masuk pada hati kamu.” (QS. Al-Hujurat; 14)
Kedua, Islam tingkat ini diikuti dengan tingkat pertama iman yaitu penyerahan dan kepasrahan hati untuk menerima keyakinan yang benar secara terperinci dengan diikuti oleh amal-amal salih; walaupun sewaktu-waktu mungkin saja berbuat salah. Allah Ta’ala berfirman tentang sikap orang yang takwa: Orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami dan mereka itu muslim (QS. Al-Zukhruf; 69) Dan Ia berfirman: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kepada Islam secara keseluruhan. (QS. Al-Baqarah; 208) Jelaslah Islam yang datang setelah iman ini bukanlah Islam pada tingkat yang pertama. Setelah Islam ini, datanglah tingkat kedua dari iman; yaitu keyakinan yang penuh kepada hakikat agama. Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian tidak ragu-ragu dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri mereka. Mereka itulah orang-orang yang beriman tulus. (QS. Al-Hujurat; 15)
Ia juga berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apakah Aku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang a kan menyelamatkan kalian dari azab yang pedih. Kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri kamu. (QS. Al-Shaf; 10-11). Di sini, kaum mukminin diberi petunjuk kepada iman yang bukan iman sebelumnya.
Ketiga, tahap kedua iman itu membawa kita kepada Islam pada tingkat yang ketiga. Ketika jiwa sudah dipenuhi dengan iman tersebut di atas dan mulai berakhlak dengan akhlak berdasarkan iman itu, maka tunduklah kepadanya semua kekuatan hewani, yaitu semua kecenderungan ke arah dunia dan segala godaannya. Sekarang manusia menyembah Allah seakan-akan ia melihatnya dan jika ia tidak melihatnya sekalipun, ia meyakini bahwa Allah melihatnya. Di dalam batinnya dan dirinya yang paling dalam, tidak ada lagi apa pun yang tidak tunduk kepada perintah-Nya dan larangan-Nya atau kecewa kepada ketentuan-Nya. Allah berfirman: Maka demi Tuhanmu, tidak beriman mereka sampai mereka mengambil kamu sebagai pengutus untuk apa-apa yang mereka pertikaikan di antara mereka. Lalu mereka tidak dapatkan dalam diri mereka keberatan atas apa-apa yang engkau tentukan dan pasrah dengan kepasrahan yang sebenarnya. (QS. Al-Nisa; 65) Setelah tingkat keislaman ini, sampailah orang kepada tingkat iman berikutnya. Allah berfirman: Berbahagialah orang-orang yang beriman, sampai kepada firmannya. Dan orang-orang yang berpaling dari hal-hal yang tidak berguna. (QS. Al-Mukminun; 1-3) Begitu juga firman Allah: Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah 131) Akhlak-akhlak yang mulia seperti rida, kepasrahan, keteguhan hati, kesabaran dalam menaati perintah Allah, kesempurnaan zuhud dan wara’, cinta dan benci karena Allah termasuk akhlak orang yang mencapai tingkat ini.
Keempat, tingkat Islam yang keempat datang setelah tingkat iman yang ketiga. Pada tingkat iman sebelumnya, hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan budak dengan tuannya. Karena ia melakukan sebenar-benarnya pengabdian dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Tuannya, menerima apa yang dicintainya dan diridainya. Memang tidak bisa dibandingkan antara kepemilikan dan kekuasaan seorang tuan atas budaknya dengan kepemilikan dan kekuasaan Tuhan semesta alam di atas makhluk-makhluk-Nya. Kepemilikan dia adalah kepemilikan yang sebenarnya. Selain Tuhan, tidak ada yang memiliki wujud yang mandiri secara zat, sifat, maupun perbuatan. Kadang-kadang setelah manusia sampai pada tingkat kepasrahan yang ketiga ini, bantuan Ilahi menariknya dan menampakkan kepadanya hakikat yang sebenarnya, bahwa seluruh kerajaan kepunyaan Allah semata-mata. Tidak sesuatu pun dapat memiliki sesuatu kecuali karena Dia. Tidak ada Tuhan kecuali Dia.
Pengungkapan realitas seperti ini adalah anugerah Ilahi yang Tuhan berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Orang tidak akan sampai kepada tingkat ini semata-mata karena kemauannya. Mungkin inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang digambarkan dengan doa Ibrahim dan Ismail: Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang pasrah kepadamu dan jadikan juga keturunan kami orang yang pasrah kepadamu. Dan tunjukkan kepada kami, cara pengabdian kami kepada-Mu.(QS. Al-Baqarah; 128) Bandingkanlah ini dengan ayat: Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131). Ayat ini secara lahiriah menunjukkan perintah tasyri’ibukan takwini;perintah legislatif bukan perintah kreatif. Ibrahim sudah Islam dengan pilihannya sendiri, memenuhi panggilan Tuhannya dan menjalankan perintahnya. Inilah perintah yang diterimanya pada awal hidupnya. Kemudian dalam ayat yang baru saja disebut, pada akhir hayatnya, Ibrahim dan anaknya Ismail berdoa memohonkan Islam dan agar ditunjuki cara pengabdian. Permohonan Ibrahim ini jelaslah bukan sesuatu yang sudah dimilikinya. Ia memohonkan sesuatu yang tidak berada di dalam kemampuannya. Pendeknya, Islam dalam doa Ibrahim dan Ismail adalah Islam pada tingkat yang keempat, dan yang paling tinggi.
Tingkat Islam ini diikuti dengan tingkat iman yang keempat. Pada tingkat ini, seluruh keadaan dan perbuatannya dipenuhi oleh keadaan yang disebut di atas. Allah berfirman: Ketahuilah bahwa para kekasih Allah itu, tidak ada takut pada mereka dan tidaklah mereka berduka cita, orang-orang yang beriman dan mereka itu bertakwa.(QS. Yunus; 42). Kaum mukminin yang disebutkan dalam ayat ini, sudah berada pada tingkat keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari Allah. Tidak ada suatu peristiwa pun terjadi tanpa seizin Allah, karena itu mereka tidak berduka cita karena hal yang dibenci menimpa mereka. Tidak juga takut karena ancaman bahaya yang menghadang mereka. Inilah iman yang datang setelah Allah melimpahkan anugerahnya. Renungkanlah.



Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i dilahirkan di Tabriz pada tahun 1321 H /1903.

0 comments:

Post a Comment

Semerdeka merdeka mu untuk menulis disini