Ada dua jalan bagi keyakinan:
Pertama, iman dan tashdiq (pembenaran), karena mengikuti nabi-nabi dan ulama-ulama. Hal ini adalah seumpama seorang pasien yang berhadapan dengan dokter yang dipercaya. Si pasien tentulah harus percaya dan membenarkan apa-apa yang dikatakan sang dokter demi kesembuhannya, dan bukan berpegang pada perkataan dirinya atau orang-orang yang bukan ahlinya dalam persoalan penyembuhan.
Kedua, wahyu atau ilham. Bahwa pengetahuan para nabi tidak mengikut saja (taqlid)kepada apa-apa yang diperkatakan oleh Jibril as, sebagaimana kita taqlid pada kata-kata Nabi Saw. Sungguh amat jauh yang demikian itu, karena taqlid tidaklah sama dengan ma’rifah. Dan arti ma’rifah itu: terbuka bagi mereka hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya, lalu mereka menyaksikan dengan bashirah batiniyah(pengelihatan batin) sebagaimana anda menyaksikan segala yang inderawi dengan mata lahiriah.
Dari musyahadah (penyaksian) inilah para nabi menceritakan kepada kita apa-apa yang kita sekarang ketahui sebagai perihal agama, dan bukan dari pendengaran dantaqlid sebagaimana kita hanya mendengar dan taqlid saja atas berita adanya malaikat, surga maupun neraka. Dan yang demikian adalah dengan terbukanya hakikat ruh, dan itu adalah amr (urusan) Allah Ta’ala.
Maka sungguh amat jauh bila kita beranggapan bahwa pengetahuan agama cukup dengan taqlid semacam ini (memperoleh pengetahuan secara empiris), lantas merasa pengetahuannya setara atau bisa menjangkau pengetahuan para nabi dan mengaku sebagai pewarisnya, tanpa pernah terbuka bagi kita hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya.
Amr yang dimaksud di sini bukanlah berarti “perintah” sebagai lawan kata dari “larangan”. Dan tidak dimaksud dengan amr itu keadaan (asy-sya’n) dan menganggap amr itu makhluk (ingat ayat yang berbunyi “ruh min amr” –Red).
Sesungguhnya alam itu dua: ‘alamu’l amri (alam amr) dan ‘alamu’l khalqi (alam makhluk), “wa lillahi’l khalqu wa’l amru” (bagi Allah khalq dan amr). Segala jism(bentuk) yang mempunyai bilangan dan takaran (ukuran) adalah termasuk alam makhluk. Kerena makhluk itu ibarat dari taqdir pada letakan lisan. Sementara setiap maujud yang terlepas dari bilangan dan ukuran, maka itu termasuk ‘alamu’l amr. Dan uraian yang demikian itu adalah rahasia ruh (sirrur-ruh), dan tidak diperbolehkan menyebutkannya. Karena bagi kebanyakan orang memperoleh melarat dengan mendengarnya, seperti rahasia qadar yang dilarang menyiarkannya.
Maka barangsiapa yang mengenal rahasia ruh, maka ia (sesungguhnya) sudah mengenal dirinya sendiri. Dan apabila ia telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya. Dan apabila ia telah mengenal dirinya dan Tuhannya, niscaya ia telah mengenal amrun rabbaniyyun dengan tabiat dan fitrahnya. Dan itu pada alam jasmani adalah asing (gharib).
Dan terjun kepada hal tersebut tidaklah dengan mengikuti tabiat yang ada pada diri manusia. akan tetapi dengan keadaan yang mendatang, yang “asing” bagi dirinya. Dan yang mendatang itu, telah datang kepada Adam a.s. dan diibaratkan daripadanya dengan “maksiat”. Yaitu: yang menurunkan dari sorga, yang sesungguhnya lebih layak bagi dirinya (manusia), berdasarkan kehendak dirinya.
Dan sorga itu sesungguhnya berdekatan dengan Tuhan yang Mahatinggi–dan itu adalah urusan uluhiyyah. Dan keinginan berdekatan dengan Tuhan yang Mahatinggi itu baginya adalah tabiat ke-diri-an (nafsiyyah). Hanya saja itu dialihkan dari kehendak tabiatnya oleh hal-hal yang mendatang bagi alam gharib bagi dirinya (gharib berarti asing dan baru, sebagaimana dunia ini gharib bagi nafs –Red). Lalu ia lupa ketika itu akan dirinya dan Tuhannya.
Dan manakala ia berbuat demikian, maka ia telah menganiaya dirinya. karena dikatakan kepadanya:
“Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah melupakan mereka kepada dirinya sendiri. itulah orang-orang yang fasik” (QS Al-Hasyr : 19).
Artinya: mereka yang keluar dari yang dikehendaki tabiat. Dikatakan: telah fasik buah apel dari tangkainya apabila ia telah keluar dari tempat tergantungnya yang fitrah (pengertian fasik secara bahasa). Ini adalah isyarat kepada rahasia-rahasia, yang kaum ‘arifin tergerak untuk menghirup bau keharumannya. Adapun bagi sebagian yang lain, bau keharuman ini menyebabkan kemelaratan, sebagaimana bau bunga mawar memberi kemelaratan bagi ju’al (kumbang tanduk), atau seperti matahari bagi mata kelelawar.[]
(Dari Kajian Forum Ihya PICTS)
Sumber : http://suluk.blogsome.com