...

Wednesday, October 5, 2011

Beragama dengan Empati


Pada suatu hari, Nabi Muhammad SAW berbicara di mimbarnya: “Maukah aku kabarkan kepada kalian orang yang paling jahat di antara kalian?” Tentu ya Rasul Allah.
“Yang paling jahat di antara kalian ialah yang makan sendirian, yang memukul orang (budak) yang berbakti kepadanya, dan yang menolak pemberian.” “Maukah aku beritahukan yang lebih jahat dari itu? (Yaitu) Yang tidak menyelamatkan orang yang tergelincir dan tidak memaafkan orang yang bersalah. Maukah aku beritahukan orang yang paling jahat dari semuanya itu?” Tentu ya Rasul Allah. “Yang membenci orang dan orang pun membencinya.” (Bihar al-Anwar 75:186; Mu’jam al-Kabir, hadis 10775)
Itulah suara Nabi yang diutus Tuhan untuk menyebarkan kasih ke seluruh alam semesta. Itu juga suara para nabi yang datang sebelumnya. Ukuran kesalehan dalam agama ini ialah menyebarkan kasih sayang, menjauhi kezaliman, saling berbagi dengan sesama, memberikan pertolongan dan memaafkan.
Ukuran kejahatan ialah menyebarkan kebencian, berbuat zalim, tidak mau berbagi, tidak menyelamatkan orang yang tergelincir, tidak memaafkan orang yang bersalah.
Esensi ajaran agama ini disebut dalam Islam sebagai “silaturahim”. Para psikolog modern menyebutnya “empati”. Manusia berada dalam spektrum empati nol, zero empathy, sampai ke superempati.
Empati nol adalah manusia paling jahat. Ia membenci dan dibenci orang. Ia punya potensi untuk menyakiti, menyerang, melukai atau menyiksa. Ia sulit menyayangi dan sulit disayangi. Ia tidak peduli kepada orang lain. Dalam bahasa Al Quran, “ia menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan.” (QS 45:23). Ketika beragama, ia tidak menyembah Tuhan. Ia memuja dirinya. Ia mengangap dirinya paling saleh dan paling dekat dengan Tuhan.
Ketika para sahabat memperbincangkan seseorang yg kekhusyukan ibadahnya menakjubkan, tiba-tiba orang itu muncul di majelis Nabi. Nabi yang mulia mendekatinya, “Jika kamu datang dalam satu majelis, apakah kamu merasa bahwa kamulah yang paling saleh, paling benar di majelis itu?”
“Benar!” katanya.
Sang Nabi pun berkomentar, “Orang itu akan menimbulkan perpecahan di kalangan umatku!.” (HR Ahmad)
Orang itu beribadah khusyuk tidak menyembah Tuhan, tetapi menyembah dirinya. Lidahnya mengucapkan Allahu Akbar, tetapi benaknya menganggap dirinya paling besar. Mereka menyembah Tuhan dengan empati nol.
Orang yang berpuasa, shalat, dan bahkan berhaji dengan menyakiti orang adalah orang yang dengan empati nol.
Ramadhan adalah madrasah empati. Lebaran adalah hari silaturrahim. Dengan keduanya, kita menaikkan tahap empati kita dari nol ke tingkat optimal. Semoga!
Jalaluddin Rakhmat, Kompas, 24 agustus 2011